Kapan Rebo Wekasan di Tahun 2022? Berikut Ulasan Rebo Wekasan dari Kacamata Islam

- 21 September 2022, 14:11 WIB
Ilustrasi seorang pemuda sedang berdoa
Ilustrasi seorang pemuda sedang berdoa /Visual Karsa/

HAILOMBOKTIMUR - Mungkin sebagian orang sudah tidak asing dengan kata Rebo Wekasan.

Seperti yang dikutip dari budaya.jogjaprov.go.id, kata Rebo Wekasan memiliki arti sebagai berikut.

"Rebo Wekasan berasal dari kata Rebo yang artinya hari rabu, sedangkan Wekasan berasal dari kata Wekas yang artinya akhir, dan akhiran an yang ditunjukkan sebagai kata benda".

Dan dapat disimpulkan bahwa Rebo Wekasan memiliki arti hari Rabu terakhir, dan Rabu Wekasan dilakukan pada hari Rabu terkahir di bulan Safar.

Baca Juga: Amalan Rebo Wekasan, Lengkap dengan Doa dan Niat Shalat Sunnah Lidaf'il Bala

Pada tahun 2022 ini, Rebo Wekasan jatuh pada Rabu 21 September 2022.

Pada Rebo Wekasan sejumlah masyarakat percaya bahwa pada hari itu akan turun bencana dan sumber penyakit, sehingga harus melaksanan amalan-amalan seperti misal ada yang shalat sunnah, ada yang mengerjakan puasa, ada juga sebagian masyarakat yang membagi-bagi hasil bumi ke warga setempat dan bahkan ke laut.

Hal tersebut dilakukan dalam rangka memohon pertolongan dari bala atau bencana, diyakini bahwa pada Rebo Wekasan 320.000 bala diturunkan ke bumi.

Bagaimana Islam memandang tentang Rebo Wekasan?

Dilansir kliklombok.com dari berbagai sumber. Rebo Wekasan bukan termasuk dalam syariat Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Meskipun ada hadits yang menerangkan tentang Rabu terakhir di Bulan Shafar, namun hadits tersebut merupakan hadist dhaif yang tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Hadits tersebut yaitu:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي..

“Dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.” HR. Waki’.

Selain dhaif, hadits ini juga tidak memiliki keterkaitan dengan hukum wajib, halal, haram, dll, melainkan hanya bersifat peringatan (at-targhib wat-tarhib).

Hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir Bulan Shafar, sudah dijelaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.

“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadits ini merupakan respon Nabi Saw terhadap tradisi yang brekembang di masa Jahiliyah. Ibnu Rajab menulis: “Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial pada bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.” (Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Hadist ini menegaskan bahwa meyakini datang nya kesialan pada bulan Shafar adalah dilarang.

Namun mengenai amalan-amalan pada Rebo Wekasan seperti shalat sunnah, puasa atau bersedekah tergantung pada Niatnya.

Jika niat melaksanakan amalan-amalan tersebut sesuai dengan syariat Islam maka diperbolehkan.

Namun ketika niat atau tata cara pelaksanaannya menyimpang dari syariat makan tidak diperbolehkan.***

Editor: Amak Fizi

Sumber: jogjaprov.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah