Peneliti Sinergi Analitika Masih Temukan Kasus Perkawinan Anak di Lombok Timur karena Pulang Larut Malam

- 6 Januari 2023, 15:00 WIB
Peneliti Sinergi Analitika Jian Budiarto M.Eng Temukan Kasus Perkawinan Anak di Lombok Timur karena Pulang Larut Malam (dok:istimewa)
Peneliti Sinergi Analitika Jian Budiarto M.Eng Temukan Kasus Perkawinan Anak di Lombok Timur karena Pulang Larut Malam (dok:istimewa) /

HAILOMBOKTIMUR - Kasus perkawinan anak di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) masih saja terjadi. Berdasarkan data, diketahui bahwa pada tahun 2021 ada 141 perkara yang menginginkan dispensasi kepada Pengadilan Agama (PA) Selong Kelas IB.

 

Salah satu kasus pada tahun 2022 terjadi di Desa Lenting Kabupaten Lombok Timur. Dalam kasus tersebut anak dipaksa menikah dengan alasan adat budaya dan tuduhan pemerkosaan. Padahal berbagai program telah dilakukan berbagai stakeholder untuk menekan angka tersebut. 

 

Peneliti Sinergi Analitika Jian Budiarto M.Eng mengatakan, sejumlah regulasi dan program yang dijalankan di Lotim untuk menekan angka perkawinan anak cukup beragam. Misalnya dengan pembuatan program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, Paraturan Bupati hingga ditingkatkan menjadi Perda Pencegahan Perkawinan Anak.

 

"Sosialisasi inipun telah diterima baik oleh kalangan anak muda. Sebuah wawancara telah dilakukan oleh kami di Tim Peneliti Sinergi Analitika terhadap pengunjung Car Free Day (CFD) pada tanggal 11 Desember 2022 untuk mengetahui dampak sosialisasi pencegahan perkawinan anak," terang Jian Budiarto dalam rilis tertulis yang diterima Jumat 6 Januari 2023.

 

Dari hasil wawancara tersebut, sebanyak 8 dari 9 pengunjung CFD telah mengetahui sosialisasi pencegahan perkawinan anak. Namun yang patut disayangkan sosialisasi ini tidak lebih dini dilakukan.

 

Misalnya Y, seorang pedagang kaki lima saat dia menikah beberapa tahun lalu mengaku tidak memperoleh informasi terkait pencegahan perkawinan usia anak ini. 

 

“Dulunya sih belum (tahu) saat pas kawin. Perkawinan di usia muda itu patut disayangkan. Itu yang saya pikirkan, kalau orang tua mampu sekolahin kenapa mesti kawin. Saya sebenarnya ingin sekolah tinggi-tinggi tapi biaya nggak ada," tutur Y saat diwawancara tim peneliti.

 

Risiko kesehatan yang akan dialami oleh pelaku perkawinan anak juga sangat besar. Hal ini yang juga dirasakan oleh dr Baiq Latifah yang merupakan dokter di RSUD dr. Raden Soedjono Selong dan Dokter Praktek di Kelurahan Ijobalit Kecamatan Labuan Haji.

 

“Kehamilan di bawah 20 tahun atau di atas 35 tahun sudah termasuk kehamilan yang berisiko tinggi. Terutama yang berada di bawah usia 20 tahun. Kita khawatir mereka belum siap secara mental menjadi seorang ibu. Seringnya mereka malas untuk pemeriksaan dan banyak banget kehamilan berisiko tinggi seperti tensi tinggi dan HB rendah,” kata dr. Baiq Latifah.

 

Lebih lanjut Jian Budiarto menyatakan bahwa masih munculnya tindak perkawinan anak mayoritas disebabkan karena adanya konflik sosial tentang persepsi pulang malam di Kabupaten Lombok Timur. 

 

“Mayoritas anak yang dipaksa menikah berdasarkan penelitian lapangan dimulai dengan tindakan pulang malam oleh si anak. Lalu dengan alasan adat budaya bahkan tuduhan pelecehan seksual, orang tua kerap memaksa pernikahan harus dilakukan. Persepsi pulang malam oleh anak dan orang tua sangat berbeda. Anak tidak pernah mendapatkan sosialisasi baik dari orang tua, guru dan pihak lain bahwa risiko memulangkan anak larut malam adalah dinikahkan," terangnya.***

Editor: Ahmad Riadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x