Tari Pakon Sebagai Media Pengobatan Yang Diyakini Oleh Masyarakat Lenek, Lombok Timur

18 Mei 2022, 10:02 WIB
Tari Pakon, Tarian yabg dilakukan di atas bara api /Dok/ist/

HAILOMBOKTIMUR - Sekira pukul 20.00 wita, bulan nampak bulat sempurna. Malam ini bumi terasa dingin menembus ketulang. Tapi kondisi itu sepertinya tak berlaku bagi sebagian orang. Tangannya asik menyiapkan segala sesajian.

Tak lama berselang beberapa orang berkumpul. Sebagian datang membawa alat musik. Tapi bukan pentas hiburan, melainkan untuk mengring sebuah ritual.

Sebuah warisan dari leluhur satu ini yang turut andil membangun peradaban. Tak heran eksistensinya sampai saat ini masih mudah dipertemukan.

Di lain sisi, nilai magisnya kerap kali berpengaruh dalam kehidupan manusia. Bahkan telah meresidu menjadi sebuah keyakinan. Yang pada gilirannya berhubungan transedetalnya dengan sang pencipta.

Salah satunya yakni ritual Pakon. Yang berada di Desa Lenek Ramban Biak, Kecamatan Lenek, Lombok Timur. Oleh masyarakat setempat ritus ini digunakan sebagai media pengobatan, bagi mereka yang tengah mengalami sakit.

“Pakon ini sudah lama, warisan dari nenek moyang,” kata Mangku Ritual Pakon, Papuq Des, belum lama ini.

Ritual ini, tuturnya, bagi mereka yang mengalami sakit kedewan, disebut juga keranjingan. Yakni berupa penyakit yang seperti dirasuki oleh jin atau dewa.

Pengobatan dengan ritual ini cukup unik. Tidak seperti ritus pada umumnya. Selain menyediakan sesajen dan sesajian lainnya, harus ada alat musik tradisional.

Alat musik ini, nantinya menjadi media pengobatan bagi mereka yang tengah dihinggapi penyakit tersebut.

Pasalnya bagi pengidap penyakit ini nanti selama ritus ini digelar akan menari. Berlenggak lenggok layaknya penari profesional.

Keunikan lainnya ialah, selain menari yang diiringi tabuhan musik tradisional, juga disediakannya bara api. Harus berbahan dasar ketangkel (batok kelapa).

Sebab, terangnya, bara api dari batok kelapa ini lebih licin dari yang lainnya. Jadi ketika diinjak tak akan menempel di kaki.

Bara api yang disediakan ini, nantinya akan diinjak oleh yang tengah mengidap penyakit tersebut. pelaksanaan ritual ini dilakukan pada malam hari.

Pria 60 tahun ini menjelaskan, penyediaan bara api itu lantaran, bagi siapa saja yang mengalami penyakit ini suhu tubuhnya berubah, tak seperti pada umumnya. Melainkan seluruh tubuhnya dingin seperti membeku.

Keunikan yang lain, ialah sebelum menari terdiagnosa penyakit ini, nampak dicambuk. Namun bukan seperti memukul layaknya binatang. Melainkan lebih menyerupai terapi yang seperti dijumpai saat ini.

“Dia (yang sakit) menari sambil.menginjak bara api ini, agar suhu tubuhnya kembali normal,” ujarnya

Penderita pnyakit ini kata dia, bahkan ada yang sampai tak bisa bergerak. Untuk kasus seperti itu, dapat diobat dengan ritual tersebut melalui bantuan belian (sebutan warga setempat untuk orang pintar) atau siapa saja yang bisa menari.

Ritual ini, jelasnya, tak hanya dilakukan oleh orang tua seperti saat ini. Namun dulu juga dilakoni oleh kaum muda.

Ia menerangkan, ritus satu telah ada sejak lama. Yang diwariskan oleh nenek moyang di daerah tersebut.

Kendati dirinya tak mengetahui akar dari penamaan ritual tersebut. Yang ia tahu hanya ritus inj digunakan sebagai obat mereka yang tengah dirasuki penyakit kedewan.

Pelaksanaan proses ritual ini sendiri, tak hanya menyiapkan sesajen berupa buah pinang dan yang lainnya. Namun juga diawali dengan pengambilan air. Ke pengembulan (mata air) yang ada di desa itu.

Lalu nantinya air itu akan ditaburi kembang setaman. Sebab, papar dia, menurut tetua pada zaman dulu, dewa paling senang dengan bunga.

“Yang sakit ini juga, tidak jarang memakan bunga yang disediakan. Dan mereka sembuh, ujarnya

Ia menjelaskan, cara pengobatan ini bukan untuk gaya-gayaan, pertunjukan atau bahkan bukan hiburan. Lakon ini merupakan media sakral yang diyakini dapat menyebuhkan penyakit oleh warga setempat.

Namun belakangan, drinya tak memungkiri ada sebagian orang yang membuat media pengobatan ini sebagai sebuah pentasan, kendati demikian ia menyadari ada perbedaan persepsi dan tujuan. Bahkan hal itu disebutnya tak lebih merupakan hobi semata.

Sebab, jelasnya, tak semua dihinggapi oleh penyakit yang hanya dapat disembuhkan oleh ritual ini. Namun orang-orang tertentu.

Dan jika tak diobati, penyakit ini bisa menjadi warisan ke generasi selanjutnya. Kalau ada yang melaksanakan ritual Pakon saat ini, bisa jadi itu dari gen ibu atau bapak yang bersangkutan

Sebab penyakit ini diyakini datang dari ruh nenek moyang. Yang masuk kedalam tubuh keturunannya saat ini.

Ruh itulah, kata dia, jika ia datang harus disambut dengan ritual tersebut. Agar tak bersemayam didalam tubuh yang bersangkutan.

“Jadi tidak semua, ada orang-orang tertentu saja,”jelasnya

Penari pakon setempat, Inaq Astam, menjelaskan pengidap penyakit ini terasa berat. Dan jasad merasa terpisah dengan diri sendiri.

Sebenaranya media tersebut jelasnya, merupakan permintaan kepada Allah Yang Maha Esa, agar menyebuhkan penyakit tersebut.

“Intinya meminta ke yang kuasa, agar menyebuhkan penyakit,” ujarnya ***

Editor: Ihwan Aman

Tags

Terkini

Terpopuler