Sejumlah Organisasi dan Masyarakat Singgung Kasus Pelanggaran HAM di NTB: Ini 6 Pernyataan Sikapnya!

- 11 Desember 2022, 20:03 WIB
Foto konsolidasi Hari HAM bersama Somasi NTB, Walhi NTB, SP Mataram dan perwakilan warga dari Menemeng, Lokasi bendungan meninting (dok:istimewa)
Foto konsolidasi Hari HAM bersama Somasi NTB, Walhi NTB, SP Mataram dan perwakilan warga dari Menemeng, Lokasi bendungan meninting (dok:istimewa) /

HAILOMBOKTIMUR - Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. 

 

Namun sayangnya, masih banyak pihak yang melakukan pelanggaran HAM. Bahkan hampir setiap negara memiliki permasalahan dalam usaha untuk menegakkan HAM, tidak terkecuali di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). 

 

“Hak Asasi Manusia tidak boleh di pinggirkan atas alasan apapun," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi NTB) Amri Nuryadin di Mataram, Minggu 11 Desember 2022. 

 

Dugaan kuat terjadinya Pelanggaran HAM di NTB, jelas dia, dalam kehidupan sosial dan akses ekonomi kerap kali terjadi terhadap warga yang wilayahnya diorientasikan untuk suatu pembangunan yang selalu mengatasnamakan kesejahteraan ekonomi warga. "Akan tetapi faktanya menghilangkan bahkan menghancurkan sumber-sumber ekonomi warga baik di daratan sampai dengan pesisir," tukasnya

 

Amri sapaan akrabnya menegaskan, dari temuan di lapangan menemukan beberapa persoalan yang sangat syarat terhadap pelanggaran HAM. Bahkan dengan alasan pembangunan, kata dia, apa yang semestinya menjadi hak dari masyarakat harus di pinggirkan bahkan dihilangkan.

 

Melalui keterangan tertulisnya, Amri mengungkapkan temuan pihaknya di lapangan, seperti pembangunan proyek strategis nasional bendungan meninting di Lombok Barat, yang berdampak serius pada Lingkungan Hidup, ekonomi warga, hilangnya wilayah kelola warga serta kesehatan perempuan dan anak di Desa Bukit Tinggi, Desa Penimbung, Desa Gegerung dan Desa Dasan Griya. 

 

Temuan selanjutnya, kata dia, yakni konflik pertanahan antara 763 Warga Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan dengan PT Perkebunan Kopi Tresno Kenangan seluas 355 Hektare. 

 

Selain itu, kata dia, yakni temuan terkait konflik pertanahan, penghancuran lingkungan hidup dan pelanggaran HAM di Lingkar Ekonomi Khusus Mandalika.

 

"Beberapa hasil kajian dan penilaian lapangan WALHI NTB adalah adanya konflik lahan, kerusakan lingkungan dan dampak buruk terhadap perekonomian warga yang saat ini semakin menurun karena sebagian besar akses ekonomi sudah tidak tersedia lagi sebagai petani, nelayan dan peternak serta relokasi tidak layak," tukasnya

 

Temuan keempat, lanjut dia, terancamnya pertanian produktif yang disebabkan aktifitas pertambangan Galian C di Desa Menemeng dan Bilabante, kabupaten Lombok Tengah. 

 

Masih kata Amri mengatakan, dari beberapa peristiwa yang ditemukan di lapangan, menunjukkan bahwa masih buruknya tata Kelola pemerintahan yang ada, ketika berhubungan dengan hajat hidup masyarakat secara umum. 

 

Hal tersebut, tegas dia, nampak hanya karena alasan pembangunan dan untuk percepatan pemulihan ekonomi maka terkesan segala cara dilakukan oleh pemerintah bahkan sampai wajarkan pelanggaran HAM, sehingga masyarakat yang menjadi korban. 

 

"UU Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi Publik, yang menjadi ruh dari komunikasi antara setiap kebijakan pemerintah dengan masyarakat tidak dapat dilakukan dengan maksimal, dan hanya nampak seperti pengguguran kewajiban yang dilakukan oleh pemerintah namun tidak mewujudkan kualitas informasi yang semestinya didapatkan oleh masyarakat, ruang-ruang partisipasi seperti hanya menjadi slogan-slogan yang terpampang di setiap aturan dan dinding-dinding pusat layanan publik, namun implementasinya tidak ada sama sekali," tegasnya

 

Ketika masyarakat menyampaikan keluhan, lanjutnya, justru di kriminalisasi atas tuduhan pencemaran nama baik/perbuatan tidak menyenangkan dan lain sebagainya. 

 

Berangkat dari beragam persoalan mengenai pelanggaran HAM tersebut, gabung organisasi yang terdiri dari Solidaritas Perempuan (SP) Mataram, SOMASI NTB, WALHI NTB, Warga Terdampak Bendungan Meninting, Warga Desa Bilebante dan Desa Menemeng, Warga Terdampak KEK Mandalika dan Warga Desa Karang Sidemen, menyatakan sikap sebagai berikut. 

 

1. Pemerintah harus melakukan tindakan cepat untuk merespon warga yang terdampak dalam pembangunan Bendungan Meninting baik itu dari sisi kesehatan (perempuan dan anak), hilangnya mata pencaharian, rusaknya lingkungan dan usaha-usaha ekonomi masyarakat yang sudah dilakukan jauh sebelum adanya Bendungan Meninting.

 

2. Memberikan sosialisasi yang massif kepada masyarakat terhadap setiap program yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah , tanpa adanya diskriminasi.

 

3. Pemerintah harus memberikan Hak Kelola Lahan kepada 763 warga Desa Karang Sidemen dan Desa Lantan Kabupaten Lombok Tengah, karena itu adalah sumber penghidupan mereka dan kelestarian alam pun terjamin karena apa yang mereka lakukan selama ini dalam mengelola lahan EX HGU PT Tresno Kenangan seluas 355 Ha.

 

4. Pemerintah harus segera menyelesaikan konflik pertanahan yang terjadi di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika dan melakukan recovery atau pemulihan terhadap kerusakan ekologi di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika.

 

5. Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat harus segera mengeluarkan surat keputusan untuk menghentikan aktivitas pertambangan galian C di Desa Menemeng dan Desa Bilebante Kabupaten Lombok Tengah, karena aktivitas tambang tersebut mengancam Ruang Kelola pertanian dan Ruang Hidup warga lainnya di wilayah tersebut.

 

6. Pemerintah harus membuka informasi terkait dengan Amdal serta prasyarat perizinan lainnya (kelayakan, kepatutan dan kehati-hatian) dalam setiap pembangunan baik itu Proyek Nasional maupun Proyek Daerah.***

 

 

 

Editor: Ahmad Riadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah