IMMADA Mataram Mengecam Penangkapan 10 Massa Aksi di Bima, Wahidin : Bentuk Anarkisme Politik

- 15 Mei 2022, 11:36 WIB
Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Monta Dalam (IMMADA) Mataram, Wahidin
Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Monta Dalam (IMMADA) Mataram, Wahidin /(dok/ist) /Riadi

HAILOMBOKTIMUR - Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Monta Dalam (IMMADA) Mataram, Wahidin menilai tindakan represif dan penangkapan secara paksa terhadap sepuluh orang massa aksi Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Monta sebagai anarkisme politik. 

"Tindakan penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian sudah menjadi bagian dari permainan politik Pemerintahan yang tidak menyukai gerakan mahasiswa," tukasnya, Minggu 15 Mei 2022.

Menurut dia, penahanan serta penetapan massa aksi sebagai tersangka dalam aksi demonstrasi itu tidak benar. 

Pasalnya, kata dia massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Monta ini menuntut perbaikan infrastruktur jalan. Sebelumnya sudah melayangkan surat ijin pemberitahuan aksi yang akan berjilid-jilid.

Baca Juga: 10 Masa Aksi Ditetapkan sebagai Tersangka, PPMI DK Mataram Hadiahi Kapolres Bima Kartu Kuning

Lebih lanjut kata dia, dalam surat pemberitahuan penyidik yang telah melakukan penyelidikan tertanggal 12 Mei 2022 dengan rujukan pasal 109 ayat 1 KUHP, UU RI Nomor 02 tahun 2002 tentang kepolisian negara republik Indonesia dan Perkap Kapolri Nomor 06 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana. 

"Dalam hal ini mestinya harus di cermati dengan sebaik-baik mungkin," tegasnya

Pasal 109 ayat 1 KUHP, menurut dia menerangkan, bahwa dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. 

"Dalam keterangan pasal tersebut yang di lakukan penyelidikan oleh penyidik iyalah adanya tindak pidana, sementara aksi masa yang dilakukan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana melainkan itu bagian dari menyampaikan pendapat di muka umum secara lisan dan tulisan. Rujukannya iyalah pasal 28 Undang-undang Dasar," pungkasnya. 

Baca Juga: Penangkapan 10 Aktivis Mahasiswa Bima, Sekjen IMBI Mataram : Inkonstitusional dan tidak Sesuai Tri Brata Polri

Sementara mengenai pemblokiran jalan mesti di ingat, kata dia bahwa ada undang-undang yang mengatur tentang jalan itu sendiri, sebagaimana dalam keterangan Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 dalam pasal 63 terdapat sanksi pidana terhadap orang yang mengganggu fungsi jalan secara sengaja.

"Pasal 63 ayat 1 setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama delapan belas bulan atau denda paling banyak satu miliar lima ratus juta rupiah,"" tukasnya

Sementara pada pasal 192 KUHP, barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak bangunan untuk lalu lintas umum, atau merintangi jalan umum darat atau air, atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan atau jalan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu lintas dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu lintas dan mengakibatkan orang mati.

Penerapan pasal 192 KUHP Jo pasal 63 tersebut. Artinya, penetapan tersangka yang di lakukan oleh pihak penegak hukum terhadap masa aksi yang di tangkap itu menciderai demokrasi dan salah sasaran. 

Pemblokiran jalan itu atas dasar kepentingan umum dimana infrastruktur jalan salah satu akses yang di lewati oleh masyarakat sehari hari untuk mencari nafkah dan meningkatkan perekonomian, tuntutan aksi masa itu bukan atas dasar kesengajaan melainkan atas dasar kepentingan banyak orang dan tidak menimbulkan bahaya bagi orang.

Bahkan dalam aksi mahasiswa tersebut tidak melakukan kerusakan atau menghancurkan dan merusak bangunan, masa aksi melakukan blokir jalan itu atas dasar kepentingan umum guna untuk di perbaiki jalan yang rusak agar bisa di lewati oleh masyarakat yang bukan hanya wilayah Monta selatan saja.

Lalu, kewenangan dari penyidik melakukan penyelidikan tindak pidana pemblokiran jalan tersebut apakah ada perbuatan pidana yang di hasilkan.?

Ini yang mesti penegak hukum cermati, jangan sampai penetapan tersangka yang dilakukan oleh pihak kepolisian tersebut mengundang instabilitas dan mosi tidak percaya terhadap penegakan hukum.

Baca Juga: Kasus Penangkapan 10 Mahasiswa Diduga Provokator di Bima Diambil Alih Polda NTB

Sementara, disisi lain penegakan hukum melakukan pembubaran paksa terhadap masa aksi sekaligus melakukan tindakan Represifitas tersebut apakah itu bisa di benarkan.?

 Sementara dalam kondisi pembubaran paksa tersebut masa aksi tidak sama sekali melakukan perlawanan dan tindakan yang mengakibatkan kericuhan bersama masyarakat maupun pihak kepolisian. Justru yang ada pihak kepolisian dalam aksi jilid 4 melakukan represifitas terhadap masa aksi. 

Dalam konferensi pers kepolisian mengatakan bahwasanya masa aksi sempat di peringatkan tapi tidak mau dan melakukan perlawanan itu tidaklah benar. Sementara dalam Video yang beredar justru terjadi pembubaran paksa dan aksi represifitas.

"Ini adalah salah satu anomali penegakan hukum kita," katanya

Kepentingan banyak orang yang menjadi prioritas masa aksi justru di tandai dengan tindakan pidana, sementara pihak kepolisian yang melakukan pembubaran paksa dan represifitas terhadap masa aksi tidak di persoalkan.

Karena itu, IMMADA-Mataram menyatakan sikap sebagai berikut

1. Mendesak Kapolda NTB untuk menertibkan Kapolres Se-NTB hingga memberikan sanksi keras kepada okknum Kepolisian yang telah melakukan tindakan Pelanggan Hukum (Represifitas) 

2. Bebaskan massa aksi aliansi mahasiswa pemuda dan masyarakat monta selatan yang di tahan tampa syarat. ***

 

Editor: Ahmad Riadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x