"Ini hanya masalah good will saja yang mulia. Selama ini legislatif pun tidak peduli, mereka memandang PTS ini lembaga nirlaba yang mencari keuntungan dari banyaknya mahasiswa, sementara mahasiswa membebankan biaya ke orangtua. Ini kan kasihan masyarakat kita yang mulia," ujarnya.
Sementara dalam petitum gugatannya, kuasa hukum Teguh Satya Bhakti (TSB), Viktor Santoso Tandiasa mengatakan, Teguh Satya Bhakti (TSB) meminta agar MK mengabulkan gugatan pemohon. Menetapkan bahwa pasal 7 ayat 3 dan pasal 89ayat 1 UU 12 2012 tentang Pendidikan Tinggi bertentangan dengan pasal 1 ayat 3 serta pasal 28 ayat 1 UU Dikti, serta bertentangan dengan UUD 45 sebagai hukum tertinggi.
Ketika memberikan nasihat, Hakim MK Enny Nurbaningsih menyatakan, yang dipersoalkan dalam gugatan Teguh Satya Bhakti (TSB) adalah masalah kesenjangan kesejahteraan antara dosen PTN dan dosen PTS. Ia menilai ini persoalan yang sudah cukup lama.
"Adanya kesenjangan ini persoalan cukup lama. UU Guru dan UU Dosen sudah mengarah ke kesenjangan ini. Tapi disini ada kesenjangan dosen PTN dan PTS, dosen yang PNS dan Swasta. Intinya masalah kesenjangan gaji pokok. Ada kerugian hak konsional warga negara," katanya.
Enny meminta Teguh Satya Bhakti (TSB) sebagai pemohon setta kuasa hukumnya untuk menyiapkan bahan dan data untuk sidang selanjutnya.
TSB Caleg DPR RI Hanura Dapil NTB II Pulau Lombok
Menariknya dalam sidang perdana gugatan TSB di MK, profil TSB pun dibuka hakim MK.
Hakim Enny Nurbaningsih menanyakan Teguh Satya Bhakti (TSB) yang dulunya PNS dan berprofesi sebagai Hakim, dan kini menjadi dosen di sebuah PTS di Jakarta.
Menjawab hal itu, Teguh Satya Bhakti (TSB) menyatakan dirinya sudah mengundurkan diri dari PNS sekaligus Hakim sejak 2022, karena memutuskan ikhtiar sebagai caleg DPR RI.
"Saya sudah mengundurkan diri yang mulia, saya memutuskan nyaleg seperti pak Mahfud MD. Di partai (Hanura) koalisinya pak Mahfud," katanya.