Homo Ludik, Memahami Panggung Politik sebagai Dunia “Permainan”

- 18 Juni 2022, 17:18 WIB
Penulis : Dr. Alfisahrin, M.Si (Wakil Direktur III Politeknik Medica Farma Husada Mataram dan Dosen Fisipol Universitas 45 Mataram).
Penulis : Dr. Alfisahrin, M.Si (Wakil Direktur III Politeknik Medica Farma Husada Mataram dan Dosen Fisipol Universitas 45 Mataram). /

A. Akar Sejarah Homo Ludens dan Matinya Etika Politik Manusia Modern

 

HAILOMBOKTIMUR - Manusia secara epistemologi dalam dunia ilmu sosial dikenal dalam aneka ragam sebutan, ada yang menyebutnya dengan homo socius artinya makhluk sosial yang senang bergaul, menjalin kekerabatan dan saling bergantung kepada sesama. Sisi lain dari manusia juga disebut dengan homo simbolicum yakni makhluk yang menyukai penggunaan simbol atau lambang dalam menjalin interaksi dan komunikasi sosialnya. 

 

Hebatnya lagi tokoh ekonomi terkemuka seperti Adam Smith menggelari manusia sebagai homo Economicus atau makhluk yang bertindak untuk mendapatkan kesejahteraan (well-being) setinggi mungkin untuk dirinya bahkan yang lebih ekstrim Thomas Hobbes, dalam bukunya De Cive mengatakan manusia sebagai homo homini lupus artinya manusia adalah serigala bagi manusia lain. Suatu metafora simbolik yang menjelaskan sifat dan tabiat manusia yang kerapkali dapat berlaku kejam dan tega kepada sesama manusia. 

 

Keragaman istilah-istilah tersebut, mengilustrasikan adanya keunikan, dan eksotisme dari potret perilaku, watak, dan sifat dasar manusia dalam beragam peran yang dimainkannya dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik. Semua peran-peran sosial manusia tersebut, tidak lepas dari perilaku, sikap, tindakan, dan kebiasaan bermain. 

 

Terminologi popular lain yang melekat diberikan kepada manusia yakni ‘Homo ludik atau homo ludens’ sebuah konsep yang memahami manusia sebagai seorang pemain yang memainkan permainan. Johan Huizinga seorang sejarawan dan teroritikus terkemuka asal Groningen, Belanda sebagai tokoh utama yang mengenalkan perdana istilah ini dalam ruang akademis dan ruang publik, meminjam istilah Filsuf Jerman Juergen Habbermas dalam buku Homo Ludens "Man The Player". 

 

Bermain bagi Huizinga sejatinya adalah sifat hakiki dari manusia hampir setiap waktu sepanjang hidup manusia bermain dan bergumul dengan ragam realitas sosial ekonomi, agama, seni dan politik. Khususnya dalam konteks dunia politik, sesungguhnya kita tidak lepas dari unsur bermain dan permainan, ada permainan uang, citra, strategi, wacana, dan kepentingan aktor yang berkompetisi.  

 

Dunia politik manusia dikelilingi oleh jutaan galaksi simbol-simbol kebudayaan, ekonomi, bahkan panji-panji agama yang bertebaran sengaja diciptakan oleh aktor untuk mengisi ruang permainan dalam pasar industri perebutan kekuasaan politik. Ada lambang juga partai politik sebagai produsen pemain atau aktor, terdapat juga sejumlah logo, warna, slogan, gelar akademik sebagai aksesoris yang menyemarakan pertarungan antar pemain politik. 

 

Selain itu, ditambahkan pula bahasa, retorika, wacana, satire, sarkasme dan propaganda politik agar satu aktor dapat mengalahkan aktor lain yang menjadi lawan dalam pertarungan politik.

 

Demikian juga dalam setiap tradisi kampaye politik aktor tidak luput dari permainan intrik dan hegemoni meminjam istilah Antonio Gramsci. Politisi tidak jarang memainkan politik identitas dengan memproduksi simbol-simbol budaya seperti menciptakan streotipe bagi minoritas, stigma, dan atribut negatif kepada lawan politik. Misalnya menghina bentuk fisik aktor, kepecayaan yang dianut bahkan latar belakang sosial etniknya seperti Suku Jawa atau non-Jawa. 

 

Identitas dan tanda-tanda kultural, ekonomi dan agama menjadi isu yang paling sering seksi juga kerapkali sensitif menjadi permainan yang dipermain-mainkan oleh aktor politik di setiap pertarungan politik baik Pilkada, Pileg maupun Pilpres. Simbol-simbol permainan politik sengaja dikreasi oleh aktor politik tidak saja dipamerkan dalam etalase visual seperti media cetak, media massa dan media sosial melainkan ikut dipertandingakan secara kolosal dalam ranah empiris untuk menunjukan kekuatan figur, luas pengaruh, dan keberterimaan di publik.

 

Sehingga dalam konteks politik, semua orang seperti sedang berada dalam kandang bermain raksasa di mana setiap aktor politik memainkan banyak lakon drama dari yang protogonis-seperti mempengaruhi pemilih dengan bujuk rayu (persuasi) hingga bermain kasar (antagonis) dengan membeli suara pemilih. 

 

Bermain kotor dan curang dalam politik sejatinya sangat dilarang tetapi dalam dramaturgi politik Indonesia, cara curang telah mentradisi, padahal ada wasit pengatur dan pengawas permainan yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai benteng yang menjaga semangat imparsialitas dan sportifitas permainan. KPU idealnya berperan strategis sebagai penegak etika permainan, dan penyusun regulasi dari rambu-rambu permainan. 

 

Kenyataannya beberapa oknum komisioner KPU di pusat hingga daerah seperti Wahyu Setiawan yang dicokok KPK karena terjerat korupsi. Permainan suap dan korupsi dalam permainan politik menegaskan argumetasi dari Johan Huizinga bahwa manusia memang pemain yang gemar memainkan permainan dalam seluruh dimensi kehidupan sosialnya. 

 

Hal ini menyebabkan semakin lemahnya posisi penyelenggara dan hilangnya kepercayaan publik terhadap kredibiltas rezim pemilu. Pemain dan wasit sama-sama runtuh moralitasnya karena sama-sama ikut terlibat bermain permainan terlarang yakni curang dalam pemilu.

 

Aktivitas mulia politik pun politik menjadi kehilangan substansi dan basis legitimasi aksiologisnya sebagai alat perjuangan yang memproduksi keadilan, kesetaraan, dan mendistribusikan kesejahteraan bersama atau (public virtue) meminjam istilah Aristoteles. 

 

Akan tetapi di abad modern kelihatannya dalam pengamatan saya, unsur-unsur penting bermain dalam politik praktis masyarakat tidak lagi tampak sebagai etika. Padahal aturan bermain dalam politik sangat penting sebagai pembentuk relasi sosial yang sehat, penguat integrasi kultural yang kokoh, dan pembuka perjumpaan sosial yang akrab dan hangat. Sehingga mencegah polarisasi dan segregasi antrolpogis antar pendukung pasangan calon. Arena politik pun sejuk, damai, harmoni, dan akrab kawan dan lawan menjadi kerabat. 

 

Publik pun meski terlibat kompetisi politik yang ketat mereka tetap santai bermain sambal mempercakapkan masalah-masalah disparitas pembangunan, kesenjangan sosial, kemiskinan, Pendidikan, Kesehatan bahkan ketidakadilan sosial sebagai wacana dan kebutuhan mendasar publik. 

 

Etika-etika politik modern dieliminasi oleh permainan politik elit yang transaksional dan kapitalis yang menempatkan modal sebagai alat utama meraih kekuasaan sehingga peran etika politik sebagai mekanisme kebudayaan untuk menghasilkan kepemimpinan politik yang jujur dan profesional mengalami alienasi meminjam istilah Karl Max. 

 

Padahal dalam garis evolusi sejarahnya sebuah kemajuan kebudayaan dan peradaban apapun dapat berkembang mencapai puncak-puncak kualitas tertinggi apabila menjunjung tinggi semanagt dan jiwa bermain yakni nilai-nilai kejujuran (sportifitas), etika dan estetika. 

 

Degradasi dari nilai-nilai permainan dalam kebudayaan, ekonomi, dan politik modern terbukti hanya mampu menggiring manusia pada orientasi produksi semata dan menghasilkan budaya konsumtif yang massal tetapi rendah inovasi dan kreatifitas produktif. 

 

Sedangkan dalam permainan politik kontemporer yang telah banyak menepikan fatsoen (etika) politik sebagai kompas moralitas gagal menghasilkan politisi berintegritas, profesional, dan amanah. Etalase panggung depan politik meminjam istilah Ervin Goffman, sesak dipenuhi aroma busuk dan citra palsu politisi korup, pragmatis berwatak kapitalis. 

 

Sisanya di panggung belakang sejumlah aktor elite tengah mengantri menyusun siasat permainan dengan korporasi menunggu giliran menjadi borjuis dan oligarki baru memainkan citra dan gimick merebut simpati publik untuk berkuasa.

 

Hilangnya unsur-unsur permainan politik yang berurat akar pada budaya musyawarah dan mufakat menjadikan atmosfir politik di era demokrasi kontemporer lebih banyak berisi drama dan permainan politik aktor politik dan penguasa. Elite hanya memainkan aspirasi publik, nasib orang-orang miskin, petani, buruh, nelayan, honorer, dan kaum pinggiran hanya sebagai komoditas politik lima tahunan. 

 

Tidak ada permainan politik sungguhan mengurangi kemiskinan, membuka lapangan kerja, menciptakan kesejahteraan, keadilan bagi kaum papa yang proletar-meminjam terminologi kaum Marxis. Mempermainkan kepentingan publik hanya untuk mencapai tujuan politik aktor pelan-pelan tapi pasti akan membuat banyak aktor politik kehilangan legitimasi dari basis etik kebudayaannya sendiri. Sebagai ‘Homo Ludens’ yakni makhluk yang senang bermain, bersenda gurau, dan bersuka cita. 

 

Politik tidak boleh semata dimaknai sebagai permaian biasa melainkan seni mengadministrasi otoritas dan diskresi dari kekuasaan untuk mewujudkan cita-cita komunal yakni kesejahteraan bersama, keadilan bersama dan kebaikan bersama. Sayangnya dalam permainan politik saat ini, hanya sukses memproduksi lebih banyak penguasa rakus, birokrat amatiran dan teknokrat yang gagal hasilkan solusi dari gunungan masalah publik.  

 

 

Kompetisi politik modern tidah ubahnya dengan industri kapitalisme modern yang hanya berkonsentrasi pada cara, jalan, sarana, instrumen dan mode produksi yang cepat dan efektif meraih untung dan hasil tanpa perduli pada segi moral, etis, dan estetis meminjam istilah filsuf Jerman Max Horkheimer. 

 

Manusia sebagai Homo Sapiens (manusia bijaksana atau berakal) meminjam terminologi dari Yuval Noah Harari, dalam sejarahnya memenangkan banyak kekuasaan politik lewat permainan modal kultural, modal ekonomi, dan modal simbolik agama. 

 

Jadi politik dapat dimaknai sebagai arena bermain yang luas bagi manusia. Meskipun dalam permainan politik dilengkapi dengan aturan konstitusi yang ketat sebagai rambu bermain, kenyataanya tidak jarang permainan politik aktor dalam panggung kompetisi menghalalkan segala cara, instrumen, dan strategi politik dari yang halal (konstitusional) hingga yang haram (inkonstitusional). 

 

Wacana tiga periode Presiden Jokowi tanpa mekanimse pemilu sejatinya adalah permainan wacana atau episteme dalam istilah Michel Foucault, yang menegaskan bahwa keseluruhan arsitektur kehidupan politik, sosial, ekonomi, hukum dan agama adalah ‘permainan” yang jadikan sebagai alat komunikasi politik, sosialisasi, internalisasi hingga cara menguasasi sesama oleh kelompok elite mayoritas yang kuat terhadap kelompok minoritas yang lebih lemah. 

 

Dalam konteks relasi kuasa modern wacana politik yang dimainkan oleh aktor berperan penting untuk meneguhkan pengaruh, kelas sosial dan dominasi politik aktor. Dunia politik sejatinya tidak hitam putih melainkan arena berjuang yang keras di mana semua sumber daya digunakan. Kelembutan (persuasi) dan kekerasan(represi) kerapkali digunakan sebagai alat untuk menundukan lawan dalam waktu yang bersamaan tetapi aktor politik selalu tau momentum kapan menggunakan keelmbutan dan kekerasan sebagai alat menegaskan posisi sosial kelas maupun struktur eksitensia yang dimliki meminjam istilah Jean Paul Satre, Filsuf besar Perancis. 

 

Manusia sebagai homo ludens selalu bermain dalam permainan di mana mereka saling berebut sumber daya dan ruang eksitensi. Keragaman peran sosialnya selalu diikat dan diatur oleh aturan permainan itu sendiri yang mengajarkan tanggungjwab, komitmen, dan loyalitas. Permainan apapun termasuk politik mengajarkan untuk memegang teguh semangat sportifitas yakni kejujuran, kedisiplinan, keuletan, ketangguhan serta keunggulan sebagai syarat moral menjaga keagungan perdaban politik. Kapan aturan dan etika politik disisihkan dalam permainan dan pertandingan politik maka, kita hanya menunggu runtuhnya tatanan demokrasi ideal yang menjamin hak, kebebasan, kesetaraan dan partisipasi publik berganti menjadi mobokrasi.

 

Oleh karena itu, yang membuat demokrasi politik sebagai arena bermain aktor menjadi unik menurut William Riker adalah berpadunya tujuan dan cara. Bukan hanya tujuan yang harus baik, tetapi juga cara untuk mencapainya.  

 

Dalam karya klasiknya, political Man, Martyn Seymur lipset juga mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya permainan cara untuk setiap kelompok dapat mencapai tujuan mereka melainkan demokrasi juga ‘cara‘ membangun masyarakat yang baik. 

 

Pudarnya unsur-unsur permainan dalam banyak aspek kehidupan sosial terutama politik menjadi alasan yang menyeret banyak tindakan manusia dalam aspek politik, ekonomi, budaya dan agama menjadi irasional karena tidak patuh pada rambu etik permainan.  

 

Permainan manusia tidak lagi hanya pada wacana-wacana sosial yang bersifat profan (umum atau biasa) seperti politik melainkan terhadap wacana sakral meminjam istilah Antropolog kenamaan amerika Mircea Elliade.  

 

Di era modern manusia seperti tidak segan-segan bermain main dengan kekuasaan Tuhan, manusia digambarkan misalnya dalam homo deus buku popular yang ditulis oleh Yuval Noah Harari bahwa manusia di masa akan dating diposisikan layak ‘Tuhan’ dengan kecerdasan akal dan bantuan teknologi artifisial intelegence manusia dapat melakukan rekayasa dan manipualsi organisme, mengeskploitasi organisme dan membuat kecerdasan baru yang mendeskripsikan manusia serupa seperti ‘Tuhan yang memiliki kekuasaan ilahiah yang metafisik dan eskatologis. 

 

B. Permainan Wacana aktor Sebagai Media Komunikasi Politik

 

Kita semua tentu mengenal Rocky Gerung (RG), sebagian publik menyebutnya sosok kontroversial ini sebagai profesor filsafat, presiden akal sehat, dan beragam julukan lain yang mewakili unsur kewarasan logika dan daya pikir kritis. 

 

Kecerdasannya memainkan wacana, diksi, paradigma, dan terminologi khas seperti kata "dungu, etika-bilitas, dan fiksi” mengingatkan saya pada apa yang disebut oleh filsuf besar paling berpengaruh abad 20 Ludwig, Josef Wittgenstein dengan permainan bahasa’ (language the game).  

 

Aktor-aktor politik di Indonesia tidak jarang ikut trend permainan wacana publik yang dimaksudkan untuk memberikan penegasan pesan kepada publik tentang identitas partai politik seperti partai reformis, nasionalis, agamais, maupun kombinasi nasionalis agamais. 

 

PDI perjuangan selalu memainkan wacana dan gagasan politik nasionalis, PAN dan Demokrat sebagai pengusung ide reformis, nasionalis-agamais, sedangakan partai -partai lain PKB, PPP, PKS tampil dengan penggunaan atribut dan simbol-simbol keagamaan yang melekat kuat pada tagline dan jargon program yang dicanangkan. 

 

Tidak jarang setiap pemilu sebagai arena kompetisi aktor, partisipasi publik dan sirkulasi elite wacana keagamaan dan ide-ide nasionalis yang diusung partai berasasakan islam dan nasonalis saling beradu berebut ruang dan tempat di pikiran, ingatan dan hati publik dalam arena pertandingan kampanye maupun sosialisasi pemilu.  

 

Kecenderungan aktor politik bermain wacana dalam berebut dukungan pemilih sejatinya secara semantik dapat diartikan sebagai instrumen komunikasi politik yang mengubungkan ide, gagasan, dan pesan aktor dengan corak, genre isu dan konstruksi sosial politik publik yang beragam dan kompleks. 

 

Sejak awal republik Indonesia berdiri permainan politik aktor dan wacananya hingga kini terus mengalami dinamika kebangsaan yang pasang surut. Sebut saja ide negara islam dan kewajiban menjalankan syari’at Islam lewat piagam Jakarta hingga negara federasi Republik Islam Serikat pernah dicoba. 

 

Sayang itu tidak berhenti bergulir, aktor-aktor politik terutama yang diwakili oleh kelompok nasionalis tidak ingin ide dan gagasan agama terlalu jauh melakukan penetrasi pada dapur dan ranah inti kekuasaan negara. 

 

Ketidakpuasan publik dan elite politik terhadap perimbangan formasi kekuatan, distribusi kekuasaan dan penyalahgunaan kekuasaan dari orde lama menjadi pergulatan wacana sengit di semua yang menggulingkan rezim orde lama digantikan oleh rezim orde baru yang otoritarian.  

 

Permainan wacana politik rupanya tidak segera berakhir hanya karena rezim berganti, ternyata kritik publik dan ketidakpuasaan atas kerja politik orde baru yang korup tidak adil dan Jawa-sentris makin tajam memicu aksi demonstrasi kolosal yang juga berhasil menggulingkan rezim orde baru setelah 32 tahun berkuasa. 

 

Jadi manusia sebagai homo ludens (makhluk yang bermain) dalam konteks politik memanfaatkan wacana dan isu-isu politik selain sebagai strategi mengritik kekuasaan juga alat perjuangan dan komunikasi politik yang dapat melegitimasi pergantian kekuasaan. 

 

Politik sebagai arena permainan semakin terasa unik terutama di era politik virtual- Meminjam istilah Jean Baudrilard, di mana praktek politik dan demokrasi tidak semata berlangsung di ruang empiris melainkan juga berpindah ke ruang virtual dalam bentuk media sosial seperti flyer, poster, tagar, hingga satire dalam bentuk meme yang luas beredar seperti Poster Jokowi berhidung pinokio sebagai analogi seorang pembohong.

 

Ada juga meme Presiden Jokowi mencium tangan Megawati dan digendong ibu Mega adalah citra politik yang ditampilkan sebagai permainan wacana juga metafor terhadap lemahnya kekuasaan aktor. 

 

Meminjam pemikiran homo ludens Huizinga bahwa permainan politik dan ekonomi pun terkandung dua semangat yakni semangat mencari kekuasaan dan semangat mencari keuntungan ekonomis dengan menumpang dalam permainan wacana politik. 

 

Meskipun dengan cara-cara ludik (bermain) tetapi permainan politik yang hanya mengeksploitasi dan mempermainkan nasib kelompok marginal seperti kemiskinan, ketertindasan, kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sebagai komoditas politik aktor di musim kontestasi pemilu, tentu merupakan suatu tindakan tidak terpuji. 

 

Oleh Taleb, praktek permainan ini disebut ludic fallacy "permainan yang salah atau curang". Fakta manusia sebagai makhluk politik merupakan ‘takdir’ yang tidak bisa dihindari manusia. 

 

Setiap hari dalam konstruksi sejarahnya manusia telah mempraktikan politik setiap hari dalam hidupnya sehingga tidak ada aktivitas dan tindakan manusia entah serius atau pun bermain yang terlepas dari yang politis. 

 

Robert, menyebut bahwa segala pemikiran, sikap, dan perilaku yang muncul pada manusia bisa dibaca sebagai manifestasi politik. Termasuk mempermainkan gimick kepura-puraan, pura-pura dermawan, pura-pura santun, pura-pura sholeh, pura-pura demokratis, dan pura-pura reformis. 

 

Semuanya tidak lebih dari permainan politik untuk dua alasan. Pertama, merebut kekuasaan dan kedua, mempertahankan kekuasaan. ***

Editor: Ahmad Riadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah